ASAL MULA WAJO
Wajo berarti bayangan atau
bayang bayang (wajo-wajo).Kata Wajo dipergunakan sebagai identitas
masyarakat baru 605 tahun yang lalu.
Di bawah bayang-bayang (wajo-wajo=bugis)pohon
bajo diadakan kontrak sosial antara rakyat dan pemimpin adat dan
bersepakat membentuk kerajaan wajo Perjanjian itu diadakan di sebuah
tempat yang bernama Tosora yang kemudian menjadi ibu kota kerajaan Wajo.
Ada versi lain tentang terbentuknya Wajo yaitu kisah We Tadampali
seorang putri dari kerajaan Luwu yang diasingkan karena menderita
penyakit kusta. beliau dihanyutkan hingga masuk daerah tosora. Daerah
itu kemudian disebut majauleng berasal dari kata maja (jelek/sakit)
oli'(kulit). Konon kabarnya beliau dijilati kerbau belang di tempat yang
kemudian dikenal sebagai sakkoli (sakke'=pulih ; oli = kulit) sehingga
beliau sembuh dan kebali lagi menjadi cantik.
Saat beliau
sembuh, beserta pengikutnya yang setia ia membangun masyarakat baru.
Sehingga suatu saat datang seorang pangeran dari bone (ada juga yang
mengatakan soppeng) yang beristirahat didekat perkampungan we tadampali.
Singkat kata mereka kemudian menikah dan menurunkan raja-raja wajo Wajo
Dalam sejarah perkembangan kerajaan wajo, wajo mengalami masa
keemasan pada zaman La tadampare puang rimaggalatung Arung Matowa Wajo
ke-6 pada abad 15. Islam diterima sebagai agama resmi pada tahun 1610
saat Arung Matowa Lasangkuru Patau Mula Jaji Sultan Abdurrahman
memerintah. Hal itu terjadi setelah Gowa, Luwu dan Soppeng terlebih
dahulu memeluk Islam.
Pada abad 16 dan 17 terjadi persaingan
antara kerajaan makasar (Gowa tallo) dengan kerajaan bugis (Bone, Wajo
dan Soppeng) membentuk aliansi tellumpoccoe untuk membendung ekspansi
gowa Aliansi ini kemudian pecah saat Wajo berpihak ke Gowa dengan alasan
Bone dan Soppeng berpihak ke belanda. Saat gowa dikalahkan oleh armada
gabungan bone, soppeng, voc dan buton, Arung matowa wajo pada saat itu
La Tenri Lai To Sengngeng tidak ingin menandatangani perjanjian
Bungayya.
Akibatnya pertempuran dilanjutkan dengan drama
pengepungan wajo, tepatnya benteng tosora selama 3 bulan oleh armada
gabungan bone dibawah pimpinan Arung Palakka.
Setelah wajo
ditaklukkan, tibalah wajo pada titik nadirnya. Banyak orang wajo yang
merantau meninggalkan tanah kelahirannya karena tidak sudi dijajah.
Hingga saat datangnya La Maddukkelleng Arung Matowa Wajo, Arung Peneki,
Arung Sengkang, Sultan Pasir beliau memerdekakan wajo. Sehingga beliau
mendapat gelar (Petta Pamaradekangngi Wajo) tuan yang memerdekaakan
wajo.
La Maddukkelleng adalah seorang ksatria dari Wajo, Sulawesi
Selatan. Pada masa kecilnya hidup di linglkungan istana ( Arung Matowa
Wajo ).
menginjak masa remaja iya diajak oleh pamannya mengikuti
acara sabung ayam di Kerajaan tetangganya Bone. Namun pada waktu itu
terjadi ketidak adilan pada penyelenggaraan acara tersebut, dimana orang
Wajo merasa dipihak yang teraniaya. La Maddukkelleng tidak menerima hal
tersebut dan terjadilah perkelahian. Ia lalu kembali ke Wajo dalam
pengejaran orang Bone, lalu lewat Dewan Ade' Pitue, ia memohon izin
untuk merantau mencari ilmu.
Dengan berbekal tiga Ujung (
ujung mulut, ujung tombak, dan ujung kemaluan ). Ia berhasil di Negeri
Kalimantan sampai Malaysia, dan merajai Selat Makassar, Hingga Belanda
menjulukinya dengan Bajak Laut. Dia menikah dengan putri raja Pasir, dan
salah seorang putrinya kawin dengan raja Kutai. Dia bersama pengikutnya
terus menerus melawan Belanda. Setelah 10 Tahun La Maddukkelleng
memerintah Pasir sebai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa
Wajo La Salewangeng yang benama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan
Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo
dalam Ancaman Bone. La Maddukkelleng akhirnya kembali lagi ke Tana Wajo
dan melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat) , beliau
diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Dalam pemerintahannya berhasil
menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang, dan terus menerus
melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari diktean Kerajaan
Bone, juga berhasil memperluas kekuasaan Kerajaan Wajo.
La Maddukkelleng Ksatria Wajo
La Maddukkelleng adalah putra dari Arung (Raja) Peneki La
Mataesso To Ma'dettia We Tenriangka Arung (Raja) Sengkang, saudara arung
Matowa Wajo La Salewangeng To Tenrirua (1713-1737). Karena Itulah La
Maddukkelleng sering disebut Arung Singkang dan Arung Peneki. Pada Tahun
1713, Rajaq Bone Lapatau matanna tikka mengundang Arung Matowa Wajo La
Salewangeng untuk menghadiri perayaan Pelubangan Telinga (pemasangan
giwang) puterinya I Wale di Cenrana (daerah Kerajaan Bone). La
Maddukkelleng ditugaskan pamannya (putra saudara perempuan La
Salewangeng) ikut serta dengan tugas memegang tempat sirih Raja.
Sebagaimana lasimnya dilakukan disetiap pesta Raja-raja Bugis-Makassar.
Diadakanlah ajang perlombaan perburuan rusa (maddengngeng) dan sabung
ayam (Mappabbitte). Pada saat pesta sabung ayam tersebut, ayam putra
Raja Bone mati dikalahkan Ayam Arung matowa Wajo. Kemenangan itu tidak
diakui oleh orang Bone dan mereka berpendapat bahwa petarungan itu sama
kuatnya. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya keributan. Pada
saat itu La Maddukkelleng turut serta dalam perkelahian dan
mengakibatkan korban dipihak Bone lebih banyak dibanding pihak Wajo.
Lontara Sukunna Wajo menyatakan bahwa pada waktu kejadian tersebut
terjadi tikam menikan antara orang Wajo dengan Orang Bone di Cenrana,
Saat itu La Maddukkelleng baru saja disunat dan belum sembuh lukanya.
Melihat kenyataan tersebut (karena mereka berada diwilayah Kerajaan
Bone), maka orang-orang Wajo segera melarikan diri Melalui Sungai
Walannae.
Setibanya Arung Matowa wajo La
Salewangeng di Tosora, maka datanglah utusan Raja Bone untuk meminta
agar La Maddukkelleng diserahkan untuk mempertanggung jawabkan
perbuatannya. Arung Matowa Wajo mengatakan bahwa La Maddukkelleng tidak
kembali ke Wajo sejak peristiwa di Cenrana. Utusan Raja Bone itu kembali
sekalipun ia yakin bahwa Lamaddukkelleng masih berada di daerah Wajo,
namun tidak dapat berbuat banyak karena adanya ikrar antara Bone,
Soppeng, dan Wajo di Timurung pada tahun 1582, bahwa tiga kerajaan itu
harus saling mempercayai. La Maddukkelleng dan dan meminta restu Arung
Matowa wajo dan Dewan Pemerintah Wajo (Arung Bentempola) utuk berlayar
meninggalkan daerah wajo. Saat itu bertepatan dengan selesainya
pembangunan gedung tempat penyimpanan harta kekayaan disebelah timur
Masjid Tosora serta gedung padi di Tellu Limpo. Anggota Dewan
Pemerintah Kerajaan Wajo La Tenri Wija Daeng Situju berpesan agar
senantiasa mengingat negeri Wajo selama diperantauan. Lalu ditanya
tentang bekal yang akan dibawa, ia menmjawab bahwa ada 3 bekal yang akan
dibawa serta yaitu : pertama lemahnya lidahku, kedua tajamnya ujung
kerisku, dan yang ketiga ujung kelakilakianku. Dengan disertai
pengikut-pengikutnya La
Maddukkelleng berangkat dari Peneki dengan menggunakan perahu layar
menuju Johor (Malaysia sekarang) Lontara Sukunna Wajo memberitakan bahwa
La Maddukkelleng dalam perjalanan bertemu dengan saudaranya bernama
Daeng Matekko, seorang saudagar kaya Johor. Hal ini membuktikan bahwa
lama sebelumnya orang-orang Wajo sudah merambah jauh dinegeri orang.
Lamaddukkelleng diperkirakan merantau pada masa akhir pemerintahan Raja
Bone La Patauk Matanna Tikka Nyilinna Walinonoe, yang merangkap sebagai
Datu Soppeng dan Ranreng Tua Wajo, sekitar tahun1714.
Arung
Matowa Wajo masih kontroversi, versi pertama pemegang jabatan arung
matowa adalah Andi Mangkona Datu Soppeng sebagai arung matowa wajo ke-45
setelah beliau terjadi kelowongan hingga wajo melebur ke Republik versi
kedua hampir sama dengan pertama, tapi Ranreng Bettempola sebagai
legislatif mengambil alih jabatan arung matowa (jabatan eksekutif)
hingga melebur ke republik versi ketiga setelah lowongnya jabatan arung
matowa, maka Ranreng Tuwa (H.A. Ninnong) sempat dilantik menjadi pejabat
arung matowa dan memerintah selama 40 hari sebelum kedaulatan wajo
diserahkan kepada gubernur sulawesi saat itu, bapak Ratulangi.
Kabupaten Wajo dulunya terdiri dari 10 kecamatan, akan tetapi sejak
tahun 2000 terjadi pemekaran hingga saat ini terdapat 14 kecamatan :
Belawa • Bola • Gilireng • Keera • Majauleng • Maniang Pajo • Penrang •
Pitumpanua • Sabbang Paru • Sajoanging • Takkalalla • Tana Sitolo •
Tempe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar